Saat kita bertanya kepada seorang ustadz tentang hukum merokok misalnya. Jawaban apa yang diharapkan oleh perokok?. Kebanyakan harapan mereka jawabannya adalah makruh bukan haram. Jika makruh seolah seolah ada pembenaran dan dorongan yang kuat untuk selalu merokok.
Sebaliknya saat bertanya tentang hukum shalat berjamaah di masjid. Tidak sedikit dari kita berharap jawabannya adalah Sunnah muakkadah saja, bukan wajib. Seolah-olah label Sunnah adalah pembenaran untuk tidak pernah ke masjid untuk shalat berjamaah.
Mengapa demikian?
Seakan-akan hukum Sunnah untuk ditinggalkan dan hukum makruh untuk dikerjakan. Ini jelas konsep yang terbalik. Juga dalam hal pembagian dosa menjadi dosa besar dan dosa kecil. Seolah ada anggapan yang menyesatkan yang terbaca dari sikap kita. Jika dosa kecil tidak apa-apalah saya kerjakan tetapi jika dosanya besar itu harus saya tinggalkan.
Dahulu para sahabat tidak pernah memilih-milih perintah dan larangan yang datang dari Rasulullah. Jika datang perintah mereka tunaikan sebisa mungkin dengan penuh ketaatan dan penghambaan kepada Allah. Saat datang larangan mereka tinggalkan dan jauhi secara total dengan penuh ketundukan kepada Allah.
Demikian pula terkait dengan dosa, seluruh dosa baik kategori besar maupun kecil. Semuanya besar dan membinasakan di mata para sahabat. Demikianlah mereka para sahabat tidak memilah-milah mana yang cocok dengan selera.
Allah berfirman yang artinya :
"Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya." (QS. Al-Hasyr :7)
Klasifikasi hukum menjadi : Wajib, Sunnah, Mubah, Makruh, dan Haram. Sejatinya ditujukan untuk memudahkan penentuan prioritas pengamalan. Wajib justru lebih dikedepankan daripada yang Sunnah. Makruh terpaksa jadi pilihan daripada harus jatuh kepada yang haram.
Namun dari sisi pengamalan, panggilan jiwa seorang mukmin akan selalu berusaha mengamalkan perintah Allah dan Rasul-Nya tanpa ia melihat apakah wajib atau Sunnah. Dan akan totalitas meninggalkan segala laranganNya tanpa pula melihat apakah itu makruh atau haram.
Dengan demikian kita layak menjadi mukmin yang beruntung sebagaimana firman Allah yang artinya :
"Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menetapkan hukum di antara mereka adalah ucapan : Kami mendengar dan kami patuh. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung." (QS. An-Nur : 51)
Semoga bermanfaat.
0 Response to "Sunnah Ditinggalkan Makruh Dikerjakan"
Post a Comment